Tuesday, May 24, 2011

Ahnaf bin Qais (Pemimpin Bani Tamim)

Kita memasuki masa awal khilafah Umar bin Khathab. Saat di mana para pahlawan dan tokoh kaum Ahnaf bin Qais, yaitu Bani Tamim, berlomba memacu kuda-kuda mereka yang perkasa dengan pedang terhunus yang berkilat-kilat. Dari rumah-rumahnya di Ahsa dan Najd mereka keluar menuju Bashrah, untuk bergabung pasukan muslimin yang telah berkumpul di sana, di bawah pimpinan Utbah bin Ghazwan. Mereka hendak menghadapi Persia, berjihad fii sabilillah dan mengharapkan mardhatillah. Di tengah-tengah mereka ada seorang pemuda bernama Ahnaf bin Qais.

Suatu hari Utbah bin Ghazwan menerima surat dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab meminta agar dikirim sepuluh orang prajurit utama dari pasukannya yang telah berjasa dalam perang. Amirul Mukminin inginm mengetahui hal ihwal pasukan Islam dan ingin meminta pertimbangan mereka.

Perintah itu pun segera dilaksanakan oleh Utbah. Beliau mengirim sepuluh orang pasukan yang terbaik kepada Amirul Mukminin di Madinah, termasuk Ahnaf bin Qais. Lalu berangkatlah mereka menuju Madinah.

Setibanya para utusan itu disambut oleh Amirul Mukminin dan dipersilakan duduk di dalam majelisnya. Mereka ditanya tentang kebutuhan-kebutuhan rakyat semuanya. Mereka berkata, “Tentang kebutuhan rakyat secara umum Anda lebih tahu karena Anda adalah pemimpinnya. Maka kami hanya berbicara atas nama pribadi kami sendiri.” Kemudian masing-masing meminta kebutuhannya.

Kebetulan Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan terakhir untuk berbicara karena terhitung paling muda di antara mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai amirul mukminin sesungguhnya tentara kaum muslimin yang dikirim ke Mesir, mereka tinggal di daerah subur menghijau dan tempat yang mewah peninggalan Fir’aun. Sedangkan pasukan yang dikirim ke negeri Syam, mereka tinggal di tempat yang nyaman, banyak buah-buahan dan taman-taman layaknya istana. Sedangkan pasukan yang dikirim ke Persi, mereka tinggal di sekitar sungai yang melimpah air tawarnya, juga taman-taman buah peninggalan para kaisar.

Namun kaum kami yang dikirim ke Bashrah, mereka tinggal di tempat yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya dan tidak pula menumbuhkan buah-buahan. Salah satu tepinya laut yang asin, tepi satunya hanyalah hamparan yang tandus. Maka perhatikanlah kesusahan mereka wahai Amirul Mukminin, perbaikilah kehidupan mereka dan perintahkan gubernur Anda di Bashrah untuk membuat aliran sungai agar memiliki air tawar yang dapat meghidupi ternak dan pepohonan. Perbaikilah kondisi mereka dan keluarganya, ringankanlah penderitaan mereka, karena mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk berjihad fii sabilillah.”

Umar takjub mendengarkan keterangannya, kemudian bertanya kepada utusannya yang lain, “Mengapakah kalian tidak melakukan seperti yang dia lakukan? Sungguh dia (Ahnaf) –demi Allah- adalah seorang pemimpin.” Kemudian Umar mempersiapkan perbekalan mereka dan menyiapkan perbekalan pula untuk Ahnaf. Namun Ahnaf berkata, “Demi Allah wahai amirul mukminin, tiadalah kami jauh-jauh menemui Anda dan memukul perut onta selama berhari-hari demi mendapatkan perbekalan. Saya tidak memiliki keperluan selain keperluan kaumku seperti yang telah saya katakan kepada Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi Anda.” Rasa takjub Umar semakin bertambah lalu beliau berkata, “Pemuda ini adalah pemimpin penduduk Bashrah.”

Usailah majelis itu dan para utusan beranjak ke tempat menginap yang telah disediakan. Umar bin Khathab melayangkan pandangan beliau pada barang-barang mereka. Dari salah satu bungkusan tersebum sepotong pakaian. Umar menyentuhnya sambil bertanya, “Milik siapa ini?”

Ahnaf menjawab, “Milik saya, wahai Amirul Mukminin,” dan seketika itu dia merasa bahwa Umar menganggap barang itu terlalu mewah dan mahal. Umar bertanya, “Berapa harga baju ini tatkala engkau membelinya?” Ahnaf berkata, “Delapan dirham.” Ahnaf tidak pernah mendapati dirinya berdusta kecuali kali ini. Pakaian tersebut dibelinya dengan harga dua belas dirham.

Umar menatapnya dengan pandangan kasih sayang. Dengan halus dia berkata, “Saya rasa untukmu cukup satu potong saja, kelebihan harta yang engkau miliki hendaknya Anda pakai untuk membantu muslim lainnya.” Umar berkata kepada semuanya, “Ambillah bagi kalian yang diperlukan dan gunakan kelebihan harta kalian pada tempatnya agar ringan beban kalian dan banyak mendapatkan pahala.” Ahnaf tertunduk malu mendengarnya dan beliau tak sanggup berkata apa-apa.

Kemudian Amirul Mukmini memberi ijin kepada para utusan untuk kembali ke Bashrah. Namun Ahnaf tidak diperkenankan kembali bersama, beliau diminta tingga bersama Umar selama setahun penuh.

Umar mengamati bahwa pemuda Bani Tamim ini memiliki kecerdasan yang lebih, fasih berbicara, berjiwa besar, semangat tinggi dan kaya akan ilmu. Oleh sebab itu amirul mukminin bermaksud membinanya agar menjadi kader muslim yang berguna dengan cara banyak belajar kepada para sahabat dan mengikuti jejak mereka dalam menekuni agama Allah. Beliau juga bermaksud menguji lebih dalam tentang kepribadian Ahnaf sebelum memberi Ahnaf tugas-tugas kemasyarakatan. Sebab Umar paling khawatir atas orang-orang yang lihai dan tangkas berbicara. Orang-orang semacam itu, jika baik bisa memenuhi dunia, dan jika rusak maka kecerdasannya akan menjadi petaka bagi manusia.

Setahun sudah Ahnaf bersama Umar, lalu Umar berkata, “Wahai Ahnaf, aku sudah mengujimu, ternyata yang kutemukan dalam dirimu hanyak kebaikan semata. Kulihat lahiriyahmu baik, maka kuharap batinmu pun demikian.”

Kemudian beliau mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia. Beliau berpesan kepada panglimanya., yakni Abu Musa Al-Asy’ari, “Untuk selanjutnya ikutkanlah Ahnaf sebagai pendamping, ajak dia bermusyawarah dalam segala urusan dan perhatikanlah usulan-usulannya.”

Bergabunglah Ahnaf di bawah panji-panji Islam dan menyerbu daerah Timur Persia. Beliau mampu membuktikan kepahlawanannya. Namanya makin tenar dan prestasinya makin cemerlang. Dia dan kaumnya, Bani Tamim, turut berjasa dalam menaklukkan musuh dengan pengorbanan besar. Banyak kota dan daerah yang dikuasai, termasuk kota Tustur dan menawan pemimpin mereka, yaitu Hurmuzan.

Dia adalah pemimpin Pesia yang paling kuat dan keras serta memiliki tipu muslihat yang lihai dalam berperang. Kemenangan kaum muslimin kali ini berhasil memaksa dia untuk menyerah. Berkali-kali sudah dia mengkhianati perjanjian damai dengan muslimin dan mengira bisa melakukannya terus menerus dan merasa dapat memenangkan kaum muslimin.

Tatkala dia terdesak di salah satu bentengnya yang kokoh di Tustur, dia masih berkata sumbar, “Aku punya seratus batang panah. Dan demi Allah kalian tidak mampu menangkapku sebelum habis panah-panah itu. Padahal kalian tahu bahwa bidikanku tidak pernah meleset, maka kalian tidak bisa menangkapku sebelum seratus orang dari kalian tewas.”

Pasukan Islam bertanya, “Apa yang engkau kehendaki?” Hurmuzan menjawab, “Aku mau diadili di bawah hukum Umar bin Khathab. Hanya dia yang boleh menghukumku.” Mereka berkata, “Baiklah. Kami setuju.”

Dia pun meletakkan panahnya ke tanah dan menyerah kepada kaum muslimin. Pasukan muslimin membelenggu dia kemudian mengirimkannya ke Madinah dalam pengawalan yang ketat dari para pahlawan perang di bawah pimpinan Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. dan juga Ahnaf bin Qais, murid dan kader Umar bin Khathab.

Rombongan itu mempercepat perjalanannya menuju Madinah. Semua berharap agar Amirul Mukminin puas dengan kemenangan tersebut. Mereka membawa harta untuk baitul maal, yaitu seperlima dari hasil ghanimah. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah Hurmuzan yang selalu mengkhianati janji itu bisa dihukum khilafah setimpal dengan kejahatannya.

Setibanya di pinggiran kota Madinah, mereka menyuruh Hurmuzan mengenakan pakaian kebesarannya yang terbuat dari sutera mahal bertabur emas permata. Di kepalanya bertengger mahkota yang penuh intan berlian yang mahal harganya.

Begitu memasuki kota Yatsrib, rakyat besar kecil, tua muda berjubel menonton tawanan berpakaian mewah itu dengan terheran-heran. Dia langsung di bawah ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khathab, tetapi beliau tidak ada di rumah. Seorang berkata, “Beliau pergi ke masjid untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.”

Rombongan itu berjalan ke arah masjid, namun tak terlihat ada di dalam. Sementara itu orang makin banyak berkerumun. Saat mereka masih sibuk mencari-cari, anak-anak yang sedang bermain di situ bertanya, “Apakah kalian mondar mandir untuk mencari Amirul Mukminin Umar?” Mereka berkata, “Benar, dimana dia?” anak itu menjawab, “Beliau tertidur di samping kanan majid dengan berbantalkan surbannya.”

Memang tadinya Amirul Mukminin berangkat dari rumahnya untuk menemui utusan dari Kufah. Tapi setelah mereka pulang, beliau merasa mengantuk sehingga tidur di samping masjid.

Hurmuzun digiring ke samping masjid. Mereka mendapatkan Amirul Mukminin sedang tidur nyenyak. Mereka pun duduk menanti hingga beliau bangun dari tidurnya.

Hurmuzun tidak paham bahasa Arab, tidak tahu apa yang sedang dibicarakan orang-orang sehingga sama sekali tidak menduga bahwa yang tidur di depannya adalah Amirul Mukminin. Memang dia sudah mendengar kesederhanaan dan kezuhudan Umar bin Khathab, tapi tidak disangkanya bahwa orangnya adalah yang sedang tidur itu. Orang yang telah menaklukkan Romawi dan raja-raja lain, tidur tanpa bantal dan pengawal. Melihat orang-orang yang duduk bersamanya, dia mengira mereka sedang bersiap untuk shalat dan menunggu khalifah.

Ahnaf mengisyaratkan kepada orang-orang untuk tenang agar tidak membangunkan khalifah dari tidurnya, sebab sepanjang pengetahuannya dalam menyertai Umar, khalifah itu tidak pernah tidur di malam hari. Beliau selalu berdiri shalat di mihrabnya, atau menyamar meronda keliling Madinah untuk menyelidiki hal ikhwal rakyatnya atau menjaga rumah-rumah dari kejahatan pencuri.

Kemudian tatkala Hurmuzun melihat isyarat Ahnaf kepada orang-orang, dia menoleh kepada Mughirah bin Syu’bah yang bisa berbahasa Pesia. Dia bertanya, “Siapakah orang yang tidur itu?” Mughirah menjawab, “Dialah Amirul Mukminin Umar bin Khathab.”

Betapa terkejutnya Hurmuzun, lalu dia berkata, “Umar? Lalu mana penjaga dan pengawalnya?” Mughirah menjawab, “Beliau tidak memilih penjaga maupun pengawal.” Dia berkata, “Kalu begitu, pasti dia Nabi.” Mughirah berkata, “Bukan, tak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. Hanya saja tingkah lakunya memang seperti nabi.”

Orang-orang makin padat berdatangan dan suara-suara yang ditimbulkan makin keras. Umar terbangun dari tidurnya dan heran melihat orang makin ramai berkerumun. Beliau juga melihat seorang yang mengenakan pakaian kebesaran, dengan mahkota di kepala dan tongkat bertabur permata indah di tangan. Umar beralih menatap wajah Ahnaf lalu berkata, “Diakah Hurmuzun.” Ahnaf menjawabnya, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”

Umar kembali mengamati pakaian dan sutera gemerlapan yang dipakai oleh pemimpin Persia tersebut kemudian memalingkan muka sambil bergumam, “Aku berlindung kepada Allah dari api neraka dan dari dunia ini. Terpujilah Allah yang telah menundukkan orang ini dan orang yang semacamnya untuk Islam.”

Kemudian beliau berkata, “Wahai kaum muslimin. Pegang teguhlah agama ini dan ikutilah petunjuk Nabi kalian yang bijaksana. Jangan sekali-kali Anda terpesona oleh dunia, karena duani itu menggiurkan.”

Selanjutnya Ahnaf bin Qais mengutarakan kabar gembir tentang kemenangannya. Ahnaf berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Hurmuzun telah menyerahkan diri kepada kita dengan syarat akan menerima ketetapan Anda atas dirinya. Silakan Anda berbicara sendiri kepadanya jika Anda berkenan.”

Umar berkata, “Aku tak sudi berbicara dengannya sebelum kalian melepas pakaian kemegahan dan kesombongan itu.” Mereka pun melucuti semua kemewahan yang dipakai Hurmuzun kemudian memberinya gamis untuk menutupi auratnya. Sesudah itu Umar menjumpainya dan berkata, “Bagaimana akibat pengkhianatan dan ingkar janjimu?”

Dengan menunduk penuh kehinaan Hurmuzun menjawab, “Wahai Umar, pada masa jahiliyah antara kalian dengan kami tidak ada Rabb, kami selalu menang atas kalian. Tapi begitu kalian memeluk Islam, Allah menyertai kalian sehingga kami kalah. Kalian menang atas kami karena hal itu, tapi juga karena kalian bersatu sedangkan kami bercerai berai.”

Umar menatap tajam kepada Hurmuzun dan berkata dengan nada tegas, “Apa yang menyebabkan kalian ingkar janji, Hurmuzun?” dia berkata, “Aku khawatir engkau membunuhku sebelum aku menjawabnya.” Umar menjawab, “Tidak, sebelum engkau menjawabnya.” Hurmuzun menjadi tenang dengan jawaban tersebut, lalu dia berkata, “Aku haus.”

Umar pun segera memerintahkan untuk mengambil air minum, kemudian seseorang menyodorkan air dalam suatu wadah yang tebal. Melihat hal itu, Hurmuzun berkata, “Sampai mati pun, sungguh aku tidak akan minum dari wadah seperti ini.”

Umar menyuruh petugasnya untuk mengambilkan air dengan wadah yang disukainya. Hurmuzun menerimanya dengan tangan gemetaran. Umar bertanya, “Ada apa dengan engkau?” dia menjawab, “Aku takut dibunuh saat meneguk air ini.” Umar berkata, “Engkau akan aman sampai selesai minum air ini.” Namun Hurmuzun langsung menuang air itu ke tanah.

Umar berkata, “Bawakan air lagi dan jangan kalian bunuh dai dalam kehausan!” Hurmuzun berkata, “Aku tak butuh air, aku hanya butuh keamanan atas diriku.” Umar berkta, “Aku akan membunuhmu!” Hurmuzun menjawab, “Anda sudah bernjanji menjamin keamananku (hingga meminum air yang aku buang tadi).” Umar berkata, “Engkau bohong.”

Anas bin Malik berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukmin, Anda telah menjamin keamanannya.” Umar berakta, “Janganlah berlaku bodoh, Anas. Aku menjami keamanan orang yang telah menewaskan adik Anda, Al-Barra’ bin Malik serta Majza’ah bin Tsur?! Tidak! Tidak mungkin!”

Anas berkata, “Tapi Anda berkata, ‘Engkau aman sampai minum air ini.” Ahnaf mendukung kata-kata Anas, demikian pula orang-orang yang lain. Umar menatap Hurmuzun dengan geram, “Engkau telah memperdayaiku!”

Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, tak satu pun pejabat kita berbuat keji terhadap mereka, menyalahi janji atau menipu.” Umar berkata, “Lantas mengapa mereka selalu berbalik setiap ada peluang padahal sudah terikat perjanjian?”

Umar tidak merasa puas dengan jawaban para utusan tersebut. Pada saat itulah Ahnaf angkat bicara, “Saya akan coba jelaskan apa yang Amirul Mukminin kehendaki dari pertanyaan Anda.” Umar berkata, “Katakan apa yang Anda ketahui.” Ahnaf memperjelas jawaban para utusan tersebut, “Mereka hendak berkata, ‘Anda melarang kami memperluas kekuasaan di Persia dan memerintahkan agar selalu puas dengan wilayah-wilayah yang ada di tangan kita. Padahal Persia masih beridiri sebagai kekaisaran yang berdaulat, masih punya seorang kaisar yang hidup. Tak heran bila orang Persia itu selalu merongrong kita, sebab mereka ingin merebut kembali rumah-rumah dan harta benda yang ada di tangan kita. Kawan-kawan mereka yang terikat pernjanjian dengan kita berusaha bergabung setiap ada kesempatan dan peluang untuk menang. Memang, tak mungkin ada kekuasaan bersatu dalam satu wilayah, salah satu pasti harus ke luar. Kalau saja Anda mengizinkan kami menaklukkan mereka seluruhnya, barulah akan berhenti makar mereka dan selesai sudah urusan itu.”

Sejenak Umar merenung mendengar uraian itu, lalu berkata, “Engkau benar wahai Ahnaf. Kini terbuka sudah hal-hal yang belum terjangkau oleh akalku tentang kaum itu.”

Nantinya, berkat saran Ahnaflah akhirnya terjadi perisitwa besar sesudahnya. Saran Ahnaf tersebut sangat nampak mempengaruhi putran roda sejarah.

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 386-398.

No comments:

Post a Comment